Senin, 12 Maret 2012
Makalah Penguasaan Lahan Di Indonesia
A. PENDAHULUAN
Pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di segala bidang selama ini dirasakan telah menampakkan hasil, terutama pada masa sebelum dan menjelang era reformasi, tetapi di sisi lain juga melahirkan persoalan-persoalan baru yang semakin rumit, sehingga timbul konsekuensi terjadinya perubahan yang besar dalam masyarakat.
Kompleksitas pembangunan tersebut di antaranya pertumbuhan dan perkembangan sarana dan prasarana daerah, terutama semenjak dihembuskannya konsep otonomi daerah. Kebutuhan akan sarana dan prasarana tersebut di antaranya adalah perumahan, perkantoran, perdagangan, industri, pelayanan jasa, pariwisata dan lain sebagainya.
Pesatnya serta keragaman pembangunan yang terjadi, ternyata dihadapkan pada persoalan-persoalan seperti yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan:
a. Terbatasnya lahan yang tersedia dengan berbagai fungsi peruntukan;
b. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan serta pola tata ruang yang belum sepenuhnya dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh;
c. Penggunaan lahan seringkali terjadi penyimpangan dari peruntukannya;
d. Persaingan mendapatkan lokasi lahan yang telah didukung atau yang berdekatan dengan berbagai fasilitas perkotaan, sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan kota;
e. Masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kepatutan atas kewajiban sebagai warga negara.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, aspek penggunaan tanah dan tata ruang sangat perlu dan mutlak dipertimbangkan, karena tanah merupakan salah satu sumber daya kegiatan penduduk yang dapat dinilai sifat, keadaan, proses dan penggunaannya. Sehubungan dengan hal tersebut, Asep Warlan Yusuf menggolongkan tanah ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Nilai keuntungan, yang berhubungan dengan nilai ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual beli tanah;
b. Nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat;
Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan.
Sebagaimana diketahui, bahwa negara Indonesia merupakan negara agraris, dan penduduknya sebagian besar hidupnya tergantung pada pertanian. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa masalah-masalah pertanahan merupakan salah satu permasalahan yang sangat penting serta peranannya demi keberhasilan pembangunan bangsa.
Permasalahan pertanahan merupakan persoalan yang terus terjadi di negara Indonesia mengingat semua aktivitas manusia tidak terlepas dari tanah. Permasalahan semakin komplek dan bahkan tidak jarang menimbulkan konflik baik secara horisontal, yaitu antar penduduk maupun secara vertikal, yaitu antara penduduk dengan aparat penegak hukum.
Guna mengatasi hal-hal tersebut di atas, pemerintah telah mengatur mengenai pertanahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Secara filosofis, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-¬pokok Agraria di Indonesia tidak terlepas dari adanya keinginan pemerintah untuk melakukan penataan terhadap penggunaan dan penguasaan tanah di bumi Indonesia. Untuk melakukan penataan tersebut, telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yaitu sebagai berikut:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasa19 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2), Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: (a) untuk keperluan negara; (b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; (c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; (d) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan serta sejalan dengan itu; (e) untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan”.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tersebut di atas, juga menatur pembatasan penguasaan tanah pertanian yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17, yang menyatakan sbagai berikut:
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh suatu kel;uarga atau badan hukum;
(2) Penetapan batas maksimum dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundang-undangan dalam waktu yang singkat;
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil alih oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah;
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan dilaksanakan secara berangsur.
Apabila mendasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa penguasaan pemilikan tanah pertanian dibatasi oleh pemerintah dengan tujuan agar tidak terjadi penumpukan tanah pertanian pada seseorang, sebab kalau terjadi penumpukan luas tanah pertanian pada seseorang akan menimbulkan kerugian bagi para petani yang menjadikan sawah sebagai alat produksi dan sekaligus mata pencaharian. Dasar pertimbangan inilah yang mendasari pemerintah mencantumkan ketentuan ini dalam salah satu pasal pada UUPA.
Seiring perkembangan jaman, yakni dengan semakin menyempitnya lahan pertanian, menjadikan penulis tertarik untuk melakukan penelaahan mengenai efektifitas pembatasan pemilikan atau penguasaan tanah pertania tersebut ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “EFEKTIFITAS PENATAAN LUAS PENGUASAAN TANAH PERTANIAN MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Mendasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini adalah “Bagaimanakah efektifitas pengaturan penataan luas penguasaan tanah pertanian pada saat ini?”
C. PEMBAHASAN
Sejalan dengan ketentuan Pasal 17 UUPA tersebut di atas, Boedi Harsono menyatakan bahwa dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata dan dengan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan menjadikan pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah kegairahan bekerja bagi para petani penggarap tanah yang bersangkutan yang telah menjadi pemiliknya.
Mengacu pada ketentuan Pasal 17 UUPA, pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksananya berupa Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang tersebut sekaligus merupakan induk pelaksanaan landreform di Indonesia. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 secara umum mengatur 3 (tiga) persoalan pokok, yaitu penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil; serta pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Prp 56 Tahun 1960 dinyatakan sebagai berikut:
(1) Seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, ataupun miliknya sendiri bersama milik orang lain, jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini;
(2) Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor-faktor lainnya, luas maksimum yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan sebagai berikut:
Di daerah-daerah yang berupa sawah atau tanah kering:
(ha) (ha)
1. tidak padat 15 20
2. padat
a. kurang padat 10 12
b. cukup padat 7,5 -
c. sangat padat 5 6
Berkaitan dengan ketentuan penetapan luas tanah pertanian di atas, maka dalam menentukan mengenai pembagiannya, lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 bahwa luas maksimum ditetapkan untuk tiap-tiap daerah tingkat II dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan faktor-faktor:
a. tersedianya tanah yang masih dapat dibagi;
b. kepadatan penduduk;
c. jenis-jenis dan kesuburan tanahnya;
d. besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya menurut kemampuan satu keluarga dengan mengerjakan berapa buruh tani;
e. tingkat kemajuan teknik pertanian sekarang ini.
Selanjutnya bagi yang memiliki tanah di atas batas yang telah ditentukan tersebut, maka menurut ayat (3) Pasal 17 UUPA, diambil alih oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah. Pengambil alihan kepemilikan atas kelebihan tanah tersebut dikenal dengan istilah Redistribusi Tanah.
Landasan pengambilalihan kelebihan pemilikan tanah tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Selain itu redistribusi tanah juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964.
Disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yaitu bahwa kepada bekas pemilik tanah yang berdasarkan Pasal 1 peraturan pemerintah ini diambil oleh pemerintah untuk dibagi-bagikan kepada yang berhak atau dipergunakan oleh pemerintah sendiri, diberikan ganti kerugian yang besarnya ditetapkan oleh panitia landreform daerah tingkat II yang bersangkutan, atas dasar perhitungan perkalian hasil bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir yang ditetapkan tiap hektarnya menurut golongan kelas tanahnya.
Menyimak ketentuan penetapan luas tanah pertanian tersebut di atas, apabila diterapkan pada saat ini menurut penulis adalah sudah tidak bisa efektif lagi. Hal ini dikarenakan kepadatan penduduk yang terjadi pada saat ini tidak memungkinkan seseorang untuk memiliki tanah seluas yang ditentukan oleh undnag-undang, apalagi di pulau Jawa yang kepadatan penduduknya sangat tinggi. Selain itu, jumlah petani yang ada juga mengalami penurunan yang sangat tajam. Kemauan teknologi dan pendidikan telah merubah pandangan masyarakat desa pada khususnya untuk lebih memilih berusaha di luar bidang pertanian.
D. KESIMPULAN
Mendasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengaturan tentang pembatasan penguasaan tanah pertanian sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUPA dan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 adalah sudah tidak efektif lagi. Hal ini dikarenakan meningkatnya kepadatan penduduk dan menurunnya jumlah petani yang disebabkan perubahan pandangan masyarakat desa pada khususnya untuk lebih memilih berusaha di luar bidang pertanian.
Pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di segala bidang selama ini dirasakan telah menampakkan hasil, terutama pada masa sebelum dan menjelang era reformasi, tetapi di sisi lain juga melahirkan persoalan-persoalan baru yang semakin rumit, sehingga timbul konsekuensi terjadinya perubahan yang besar dalam masyarakat.
Kompleksitas pembangunan tersebut di antaranya pertumbuhan dan perkembangan sarana dan prasarana daerah, terutama semenjak dihembuskannya konsep otonomi daerah. Kebutuhan akan sarana dan prasarana tersebut di antaranya adalah perumahan, perkantoran, perdagangan, industri, pelayanan jasa, pariwisata dan lain sebagainya.
Pesatnya serta keragaman pembangunan yang terjadi, ternyata dihadapkan pada persoalan-persoalan seperti yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan:
a. Terbatasnya lahan yang tersedia dengan berbagai fungsi peruntukan;
b. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan serta pola tata ruang yang belum sepenuhnya dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh;
c. Penggunaan lahan seringkali terjadi penyimpangan dari peruntukannya;
d. Persaingan mendapatkan lokasi lahan yang telah didukung atau yang berdekatan dengan berbagai fasilitas perkotaan, sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan kota;
e. Masih rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap kepatutan atas kewajiban sebagai warga negara.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, aspek penggunaan tanah dan tata ruang sangat perlu dan mutlak dipertimbangkan, karena tanah merupakan salah satu sumber daya kegiatan penduduk yang dapat dinilai sifat, keadaan, proses dan penggunaannya. Sehubungan dengan hal tersebut, Asep Warlan Yusuf menggolongkan tanah ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Nilai keuntungan, yang berhubungan dengan nilai ekonomi dan yang dapat dicapai dengan jual beli tanah;
b. Nilai kepentingan umum, yang berhubungan dengan pengaturan untuk masyarakat umum dalam perbaikan kehidupan masyarakat;
Nilai sosial, yang merupakan hal mendasar bagi kehidupan.
Sebagaimana diketahui, bahwa negara Indonesia merupakan negara agraris, dan penduduknya sebagian besar hidupnya tergantung pada pertanian. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa masalah-masalah pertanahan merupakan salah satu permasalahan yang sangat penting serta peranannya demi keberhasilan pembangunan bangsa.
Permasalahan pertanahan merupakan persoalan yang terus terjadi di negara Indonesia mengingat semua aktivitas manusia tidak terlepas dari tanah. Permasalahan semakin komplek dan bahkan tidak jarang menimbulkan konflik baik secara horisontal, yaitu antar penduduk maupun secara vertikal, yaitu antara penduduk dengan aparat penegak hukum.
Guna mengatasi hal-hal tersebut di atas, pemerintah telah mengatur mengenai pertanahan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Secara filosofis, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-¬pokok Agraria di Indonesia tidak terlepas dari adanya keinginan pemerintah untuk melakukan penataan terhadap penggunaan dan penguasaan tanah di bumi Indonesia. Untuk melakukan penataan tersebut, telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yaitu sebagai berikut:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasa19 ayat (2) serta Pasal 10 ayat (1) dan (2), Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: (a) untuk keperluan negara; (b) untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa; (c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan; (d) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan, dan perikanan serta sejalan dengan itu; (e) untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan”.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tersebut di atas, juga menatur pembatasan penguasaan tanah pertanian yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 17, yang menyatakan sbagai berikut:
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh suatu kel;uarga atau badan hukum;
(2) Penetapan batas maksimum dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundang-undangan dalam waktu yang singkat;
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil alih oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah;
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan dilaksanakan secara berangsur.
Apabila mendasarkan ketentuan tersebut, maka terlihat bahwa penguasaan pemilikan tanah pertanian dibatasi oleh pemerintah dengan tujuan agar tidak terjadi penumpukan tanah pertanian pada seseorang, sebab kalau terjadi penumpukan luas tanah pertanian pada seseorang akan menimbulkan kerugian bagi para petani yang menjadikan sawah sebagai alat produksi dan sekaligus mata pencaharian. Dasar pertimbangan inilah yang mendasari pemerintah mencantumkan ketentuan ini dalam salah satu pasal pada UUPA.
Seiring perkembangan jaman, yakni dengan semakin menyempitnya lahan pertanian, menjadikan penulis tertarik untuk melakukan penelaahan mengenai efektifitas pembatasan pemilikan atau penguasaan tanah pertania tersebut ke dalam bentuk penulisan makalah yang berjudul “EFEKTIFITAS PENATAAN LUAS PENGUASAAN TANAH PERTANIAN MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”.
B. PERUMUSAN MASALAH
Mendasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan makalah ini adalah “Bagaimanakah efektifitas pengaturan penataan luas penguasaan tanah pertanian pada saat ini?”
C. PEMBAHASAN
Sejalan dengan ketentuan Pasal 17 UUPA tersebut di atas, Boedi Harsono menyatakan bahwa dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata dan dengan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan menjadikan pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah kegairahan bekerja bagi para petani penggarap tanah yang bersangkutan yang telah menjadi pemiliknya.
Mengacu pada ketentuan Pasal 17 UUPA, pemerintah telah menerbitkan peraturan pelaksananya berupa Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-undang tersebut sekaligus merupakan induk pelaksanaan landreform di Indonesia. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 secara umum mengatur 3 (tiga) persoalan pokok, yaitu penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil; serta pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Prp 56 Tahun 1960 dinyatakan sebagai berikut:
(1) Seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, ataupun miliknya sendiri bersama milik orang lain, jumlah luasnya tidak melebihi batas maksimum sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2) pasal ini;
(2) Dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor-faktor lainnya, luas maksimum yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan sebagai berikut:
Di daerah-daerah yang berupa sawah atau tanah kering:
(ha) (ha)
1. tidak padat 15 20
2. padat
a. kurang padat 10 12
b. cukup padat 7,5 -
c. sangat padat 5 6
Berkaitan dengan ketentuan penetapan luas tanah pertanian di atas, maka dalam menentukan mengenai pembagiannya, lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 bahwa luas maksimum ditetapkan untuk tiap-tiap daerah tingkat II dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan faktor-faktor:
a. tersedianya tanah yang masih dapat dibagi;
b. kepadatan penduduk;
c. jenis-jenis dan kesuburan tanahnya;
d. besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya menurut kemampuan satu keluarga dengan mengerjakan berapa buruh tani;
e. tingkat kemajuan teknik pertanian sekarang ini.
Selanjutnya bagi yang memiliki tanah di atas batas yang telah ditentukan tersebut, maka menurut ayat (3) Pasal 17 UUPA, diambil alih oleh pemerintah dengan ganti kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah. Pengambil alihan kepemilikan atas kelebihan tanah tersebut dikenal dengan istilah Redistribusi Tanah.
Landasan pengambilalihan kelebihan pemilikan tanah tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Selain itu redistribusi tanah juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964.
Disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yaitu bahwa kepada bekas pemilik tanah yang berdasarkan Pasal 1 peraturan pemerintah ini diambil oleh pemerintah untuk dibagi-bagikan kepada yang berhak atau dipergunakan oleh pemerintah sendiri, diberikan ganti kerugian yang besarnya ditetapkan oleh panitia landreform daerah tingkat II yang bersangkutan, atas dasar perhitungan perkalian hasil bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir yang ditetapkan tiap hektarnya menurut golongan kelas tanahnya.
Menyimak ketentuan penetapan luas tanah pertanian tersebut di atas, apabila diterapkan pada saat ini menurut penulis adalah sudah tidak bisa efektif lagi. Hal ini dikarenakan kepadatan penduduk yang terjadi pada saat ini tidak memungkinkan seseorang untuk memiliki tanah seluas yang ditentukan oleh undnag-undang, apalagi di pulau Jawa yang kepadatan penduduknya sangat tinggi. Selain itu, jumlah petani yang ada juga mengalami penurunan yang sangat tajam. Kemauan teknologi dan pendidikan telah merubah pandangan masyarakat desa pada khususnya untuk lebih memilih berusaha di luar bidang pertanian.
D. KESIMPULAN
Mendasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengaturan tentang pembatasan penguasaan tanah pertanian sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UUPA dan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 adalah sudah tidak efektif lagi. Hal ini dikarenakan meningkatnya kepadatan penduduk dan menurunnya jumlah petani yang disebabkan perubahan pandangan masyarakat desa pada khususnya untuk lebih memilih berusaha di luar bidang pertanian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Page Navigation byhttp://creativityforindonesia.blogspot.com
Artikel Via Email
Dapatkan Update Artikel B-digg Via Email
Jika anda suka dengan artikel yang ada di blog ini, silahkan untuk berlangganan artikel blog ini via email gratis. Isikan alamat email anda di bawah ini!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar